Seminar Makanan Halal di Toyota International Association

Alhamdulillah acara seminar yang bertajuk “Pengetahuan dasar tentang Islam dan makanan Halal” yang dikoordinir oleh Toyota International Association atau TIA berjalan dengan lancar. Dalam seminar dimana saya diundang sebagai pembicara hadir sekitar 17 orang peserta orang Jepang. Hadir juga beberapa peserta peninjau, orang Indonesia, dan ada orang Palestina.

Saat ini berkembang sangat pesat label halal maupun ekonomi syariah. Ini sangat positif sebagai perkembangan sosial ekonomi masyarakat muslim di dunia. Label halal memudahkan masyarakat muslim memilih makanan buat mereka. Tetapi, sebenarnya Islam sendiri tidak mengenal pelabelan makanan halal. 14 abad lebih umat muslim hidup makan tanpa memakai label halal. Iya, sebelum era globalisasi, belum ada ekspor dan impor umat muslim makan dan minum hasil pertanian dan peternakan di daerah sekitar tempat hidupnya. Tidak ada makanan produksi daerah lain maupun negara lain yang non-muslim yang diimpor. Oleh karena itu, tentu pelabelan halal tidak diperlukan. Namun, saat ini era globalisasi dunia makin kompleks tentu saja pelabelan halal menjadi diperlukan.

Berbeda dengan pelabelan ataupun sertifikasi halal yang memberi kesan seolah-olah yang berlabel halal saja yang halal dimakan yang tidak berlabel menjadi haram. Sebenarnya, secara konsep pada dasarnya semua makanan itu halal, sesuai itu itu menjadi haram karena disebutkan berdasarkan nash, dalil, maupun fatwah para ulama. Jadi, semua makanan yang ada itu entah berlabel atau tidak itu pada dasarnya halal dimakan. Yang halal itu sangat luas dan banyak. Dia menjadi haram saat baru diketahui mengandung barang haram. Selama tidak diketahui atau secara kasat mata halal, tentu hukumnya halal dimakan. Tidak perlu risau ataupun khawatir karena pada dasarnya agama Islam itu bersifat sangat memudahkan pemeluknya. Jangan menjadi orang yang berbelit-belit atau mempersulit diri sendiri seperti dikisahkan dalam Al Qur’an. Disebutkan dengan jelas bagaimana kisah orang-orang yang diperintahkan Allah swt untuk menyembelih sapi betina tapi mereka malah mempersulit dirinya sendiri.

Kita sendiri orang musim di Jepang sangat nyaman dalam hal makanan. Kita berterima kasih kepada masyarakat Jepang dalam tradisi mereka menghidangkan makanan. Makanan Jepang atau washoku terkenal dengan tradisinya menghidangkan makanan secara terpisah dalam mangkuk-mangkuk kecil. Satu piring atau mangkuk kecil berisi satu jenis makanan. Satu jenis masakan biasanya berisi satu bahan makanan. Misalnya, tempura ditaruh terpisah, sushi atau sashimi ditaruh terpisah, sayur dan nasi juga ditaruh terpisah. Begitu juga masakan daging. Hal ini membuat kita umat muslim bersyukur karena kita dengan mudah bisa membedakan mana makanan berisi daging dengan makanan yang lainnya. Ini sangat memudahkan kita dalam memilih masakan yang halal yang bisa kita makan di Jepang. Alhamdulillah.

Setelah seminar, diadakan sesi diskusi kelompok dengan orang Indonesia masuk di tiap kelompok sebagai narasumbernya. Luar biasa. Orang Jepang punya rasa ingin tahu yang tinggi dan kritis terhadap Islam, kehidupan sehari-harinya, dan juga makanan halalnya. Kenyataan bahwa orang yang puasa tapi beratnya meningkat setelah puasa sangat menarik bagi mereka. Fenomena yang jadi kritikan buat umat muslim :D.

Selain itu, orang Jepang bertanya mengapa dibanding negara lain di asia tenggara seperti Thailand, Vietnam, Filipina dan lain-lain, mengapa masyarakat Indonesia menerima agama Islam dan sekarang menjadi agama mayoritas. Mungkin ini ada hubungannya dengan agama lokal yang dianut oleh orang-orang Indonesia sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, yaitu agama Kapitayan. Agama Kapitayan menyembah kekosongan atau suwung, yang disebut juga sang Hyang. Konsep tuhan yang berupa ruang kosong ini mirip dengan konsep tauhid “tuhan ada tanpa arah dan tempat”. Oleh karena alasan ini, mungkin agama Islam muda diterima oleh masyarakat biasa di Indonesia.

Leave a comment